DWI SATRIO

selamat membaca

Minggu, 15 Mei 2011

Peran Bank Pengkreditan Rakyat (BPR)

Semenjak terjadinya krisis ekonomi hingga beberapa tahun terakhir ini hampir semua Bank gencar menggarap sektor Usaha Menengah Mikro dan Kecil (UMKM). Karena telah diakui bersama bahwa sektor inilah yang paling tahan terhadap badai krisis ekonomi yang memporakporandakan perekonomian nasional dengan menelan “korban” berbagai kalangan baik sektor perbankan, perdagangan, jasa, tidak terkecuali para Birokrat selaku pemegang kebijakan. Beberapa Bank dilikuidasi, perdagangan mandek, industri menghentikan produksi, PHK dimana-mana, banyak L/C Indonesia tidak dipercaya di luar negeri, dan beberapa pejabat bertumbangan.

Tapi justru sektor UMKM dapat bertahan, bahakan mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan antara lain karena UMKM bergerak di hampir semua sektor ekonomi. Pertanian, perdagangan eceran, industri rumah tangga, jasa-jasa, arisan RT, simpan pinjam kelompok dan sebagainya, semua berjalan biasa. Populasinya juga bersifat masal dan tersebar sehingga dapat menjadi penyedia barang dan jasa yang terjangkau bagi konsumen bawah karena jaringan distribusinya luas. Kegiatan UMKM umumnya hanya menggunakan teknologi sederhana, sehingga mudah menyesuaikan iklim dan lingkungan diamana usahanya berada. Dari sisi pembiayaan, modal UMKM biasanya relatif kecil sehingga penyaluran kredit UMKM dapat lebih merata, yang sekaligus menjadi strategi dari penyebaran resiko kredit.

Bagi Pengusaha Mikro, kredit Bank (baca ; BPR) merupakan madu yang berarti manfaat dan memberi nilai tambah bagi pengembangan usahanya. Dengan meminjam BPR usaha nasabah semakin meningkat, omset bertambah, dan keuntungan melimpah. Itu artinya kredit yang diberikan Bank dapat menjadi madu bagi nasabah. Tapi sebaliknya, kredit bisa menjadi racun karena setelah pinjam BPR usahanya menjadi tersendat, angsuran meningkat, bahkan bisa jadi usahanya sekarat. Racun yang menimpa nasabah dapat berimbas meracuni Bank, karena dengan tersendatnya usaha biasanya akan berakibat pada terhambatnya angsuran. Meskipun pada beberapa kasus ada nasabah yang usahanya bangkrut, tapi angsurannya tetap lancar yang bisa digambarkan sebagai racunnya nasabah tapi madunya Bank, karena mungkin nasabah memeiliki itikad dan karakter yang baik. Tetapi hal ini tentu tidak diinginkan oleh nasabah maupun Bank.

Bagi BPR sendiri, kredit bagaikan madu di tangan kanan atau racun ditangan kiri. Karena kredit menjadi tumpuan pendapatan opersional dari bunga yang dibayar oleh nasabah. Rata-rata 80 % Pendapatan BPR adalah bersumber dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan. Jika angsuran nasabah lancar dalam membayar bunga dan pokok sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka kredit tersebut bisa dibilang menjadi madu bagi Bank. Tetapi jika angsuran nasabah bermasalah atau bahkan macet, maka kredit tersebut menjadi racun karena Bank harus menyediakan PPAPWD yang cukup untuk menutup kerugian Bank akibat kredit macet. Selain itu akibat kredit bermasalah juga berdampak pada tertundanya pendapatan bunga, sedangkan biaya terus bertambah. Lebih berbahaya lagi jika kredit bermasalah sudah seperti racun yang menjalar ke seluruh organ tubuh sehingga berdampak pada timbulnya kematian / kebangkrutan.

Oleh karena itu bagaimana kredit bisa menjadi madu bagi nasabah yang sekaligus madu bagi Bank, para analis kredit tentu sudah paham betul dengan analisa pendekatan yang digunakan. Tetapi bagaimana madu dapat mengalir secara terus menerus (sustainable) yang dapat menghidupi Nasabah sekaligus menghidupi Bank, ini yang perlu dipikirkan.

Mengembangkan UMKM untuk menjadi nasabah yang menghasilkan madu secara terus menerus bukanlah program kagetan, atau program serentak yang seketika itu juga dapat dipetik hasilnya. Untuk membangun loyalitas UMKM yang sekarang menjadi primadona dan sasaran perbankan perlu kesabaran dan komitmen yang kuat. Betatapun canggihnya produk Bank Umum dan betapapun murahnya bunga Bank Umum, UMKM yang sudah loyal menjadi nasabah BPR tidak mudah tergoyahkan oleh tawaran-tawaran menggiurkan itu, karena pendekatan system analisis yang digunakan BPR menggunakan pendekatan sosial budaya (socio cultural approach) yang dinilai lebih tepat bagi UMKM.

Bank Umum memang punya keunggulan teknologi, sumber dana yang melimpah, networking secara nasional, lalu lintas pembayaran melalui cek dan bilyet giro, dan sebagainya. Tetapi BPR juga punya keunggulan hubungan personal yang kuat dengan nasabahnya. BPR mampu memberi pelayanan yang prima karena pelayanan yang dilakukan BPR adalah face to face. BPR juga mampu menyesuaikan kondisi, adat istiadat, budaya dan perikehidupan masyarakat sekitarnya. BPR dapat memberi lebih dari yang diharapkan nasabah, karena umumnya UMKM tidak sekedar membutuhkan modal tetapi juga bimbingan, petunjuk, konsultan, teman diskusi yang tidak semuanya dapat dilayani oleh Bank Umum. Dan BPR umumnya bersedia berbagi pengalaman dalam suasana keakraban dengan memberi sentuhan hangat kawan sejati. Hal ini berbeda dengan pelayanan Bank Umum pada UMKM yang dinilai terlalu kaku dan prosedural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar